BUKTI

TEBU 2a.jpg

“Jika untuk menemukan penawar sebuah virus para ilmuan melakukan berbagai penelitian dan eksperimen yang memakan waktu bertahun-tahun, bahkan tak jarang harus mengubah metode penelitian dan tak menyerah pada puluhan hasil nihil di awal, mengapa para pencari tuhan sepertimu harus menyerah dengan mengatakan tuhan tidak ada hanya dari beberapa kali eksperimen, apalagi dengan metode pencarian yang itu-itu saja sama?” kataku menyodorkan piring padanya di dapur pawon rumahku.

Rumahku bukan rumah yang besar. Aku dan keluarga kecilku memilih untuk tinggal di desa setelah beberapa kejadian yang kami alami selama di kota. Sebagaimana rumah di desa pada umumnya yang terdiri dari dinding beton di bagian depan dan dinding bambu di bagian dapur. Hanya lantai cor yang selalu kami pel pagi sore yang membuat rumah kami nampak bersih meski sederhana. Kami memasak menggunakan tungku, bukan karena kami tak mampu tapi memang lebih mudah mencari kayu kering timbang elpiji di desa ini.

Joy belum selesai membenarkan radio saat istriku meminta kami untuk masuk dan makan di dapur. Di lingkungan desa seperti ini sudah jadi tradisi untuk menawarkan tamu makan, apalagi pada jam-jam sore seperti ini.

“hmm menarik pak… tapi aku mulai meragukan tuhan sejak SMP dan itu bukan waktu yang pendek” kata Joy sambil menyiram sayur lodeh membanjiri nasi di piringnya.

Sing akeh tah! (yang banyak)!” kataku menyodorkan bakul bambu berisi nasi hangat. “Seadanya ya!” lanjutku.

“Laiya to, kalau yang gak ada ya gimana? Tuhan dong?” selorohnya sambil mengambil sebuah dingklik di depan tungku perapian.

Raimu…(mukamu)” balasku tersenyum lalu menyusulnya duduk di dingklik lainya. Di antara kami memang tidak ada formalitas dan kami sering merayakan kedekatan kami dengan hal-hal santai seperti ini.

“hanya mulai mempertanyakan, itu baru menemukan latar belakang masalahmu, tapi apa kau mulai meneliti dengan metode yang benar itu adalah hal lain bukan?” aku bertutur sambil menyodorkan kaleng kerupuk..

“masuk juga pak, tapi aku mulai benar-benar mencari dengan menemui kiyai, pastor, dan beberapa orang untuk mendiskusikan ini saat aku semester akhir pak, aku juga sudah baca beberapa buku terkait teologi!” kata Joy. Aku langsung teringat pengalamanku bertemu seorang dokter yang salah diagnosis yang membuatku harus mengeluarkan biaya berlebih, aku khawatir, Joy juga menemui orang yang salah lantaran gelar kiayi yang disematkan oleh masyarakat bukan karena ilmunya, lalu Joy menganggap fatwanya menjadi dasar menilai Islam. Terkadang kita hanya bertemu orang yang kurang tepat, tapi aku tak mau terlalu menyudutkanya dalam masalah ini.

“Itupun masih tahap pencarian data, dengan cara interview dan literasi, masuk?” kataku lalu menyuapkan nasi dalam mulutku perlahan.

“ya… bisa jadi pak.. teruskan saja dulu!” lanjut joy sembari menggigit kerupuk dengan beringas, membiarkan serpihanya berterbangan di udara. “Nah, masalahnya dalam penelitian butuh metodologi, dan setelah semua data terkumpul kita harus bisa mengolahnya secara tepat. Kecuali kau punya motif”.

“motif gimana pak?” balasnya. “Apa kau tahu bedanya research goal (tujuan penelitian) dan research purpose (maksud penelitian?)“ kataku, joy tersenyum.

“Gampang” Sambil mengacungkan kerupuknya ia bertutur, “tujuan dilakukan penelitian itu adalah menemukan fakta dari proses penelitian, misal untuk membuktikan asumsi awal apakah ganja bisa menjadi penyembuh kanker. Sedangkan maksud penelitian contohnya adalah untuk mendapatkan izin penggunaan ganja, atau bahkan melegalkan penjualan ganja. Ya sejenis motif itulah Pak.”

“Nah itu, biasanya penelitan dimulai dengan asumsi awal atau hipotesis, ada dua jenis peneliti. Peneliti yang berorientasi dengan hasil, ia menerima apapun hasilnya meski bertentangan dengan argumen awalya sendiri. Tapi peneliti yang memiliki motif mengarahkan penelitiannya hanya untuk memperkuat argumenya. Tipe seperti itu adalah tipe pembenaran, bukan pencari kebenaran. Nah kamu termasuk yang mana Joy?” balasku, Joy tersenyum sambil mencelupkan krupuk ke dalam kuah sisa kuah sayur di piringnya.

“Biasanya ia membuat penggarisnya dulu sebelum meneliti seperti; jika tuhan itu ada dan baik seharusnya tidak ada neraka untuk menyiksa, atau kalau tuhan itu ada dan penyayang seharusnya nggak ada orang miskin dan menderita di dunia ini, jadi selama masih ada orang menderita tuhan nggak mungkin ada. Atau yang lebih sering kita temui, kalau agama itu benar, harusnya bisa bikin pemeluknya baik, lah si anu agamanya anu tapi masih suka ngomong kasar, berarti agama anu bukan agama yang benar, dan seterusnya…”

“Penggaris…? premis maksudmu pak? Jika A adalah B sedangkan A harusnya C makah A bukanlah B logika matematika seperti itu kan Pak! Ya nggak papa kan, namanya juga penelitian, kan harus berangkat dari asumsi awal”

“tentu saja nggak papa, tapi terkadang sebelum memulai mencari jawaban, kita harus belajar bertanya dengan benar. Kalau seperti itu setiap mereka melihat agama, mereka mengukur dengan penggaris logika mereka, ada orang jahat nggak di agama itu? Kalau masih ada yang jahat berarti bukan agama yang baik. Sedang kita tahu, kalau ada mobil BMW nabrak marka jalan, bukan berarti mobilnya yang gak canggih kan, tapi bisa jadi yang nyetir aja belum ahli menggunakanya. Kalau mau beli mobil kan harus dilihat dari spek info dari perusahanya langsung, bukan lihat berita tentang ada nggak kecelakaan dengan mobil itu? Sama saja dengan kalau ada berita tentang kecelakaan mobil”

“Yah meskipun gitu kan bisa aja kita tanya dari testimoni orang, gak harus lihat dan ngecek mobilnya sendiri to?”. “boleh, tapi jangan jadikan acuan, karena kita sedang berbicara penelitan. Testimoni bisa mengurangi nilai objektivitas, apalagi kalau lagi-lagi pertanyaanya salah ditambah respondenya nggak bener, ditambah lagi pengambil kesimpulanya berpihak”

“Ingat Joy, bisa jadi orang menghabiskan hampir seluruh hidupnya hanya untuk mencari sebuah jawaban… dari pertanyaan yang salah.” tutupku sambil menyuap nasiku. Joy terdiam. Matanya tertuju pada serabut kelapa yang ada di dalam tungku perapian, meski aku yakin pikiranya tengah mengawang ke tempat lain.

“Masuk juga seh pak, tapi nggak bisa di pukul rata gitu ke semua ateis. Jalan mereka macem-macem, aku juga nemu jalan sendiri” lanjutnya. Piringnya telah bersih tanpa sebutir nasipun tersisa, kini ia hanya memegang kerupuk sambil memakanya perlahan.

“Ilmuan sejati menjalankan penelitianya dengan keyakinan yang kuat bahwa ia akan menemukan sebuah serum yang akan menyelamatkan jutaan orang, dan tidak menyerah meski harus ganti generasi. Kenapa kau berhenti”

“Masalahnya agama itu dogma bukan sains Pak… dan kalau kau bisa buktikan secara ilmiah tuhan itu ada, aku akan fair kok Pak!”

“Tunggu… sekarang aku bisa melihat apa yang salah. Bagaimana jika kukatakan bahwa agama itu adalah sains tingkat tinggi? Advance science?” kataku sembari menaruh piring dan mengambil kendi air.

“Sains apanya? Angkat tangan ke langit berharap yang sakit bisa sembuh? Cari obat, minum obat, operasi dan lain-lain, bukanya malah kasi seserahan ke tuhan”

“Sekarang aku malah bisa melihat kesalahan metode pencarianmu. Kau dari awal sudah membuat kesimpulanmu sendiri bahwa agama bukan sains lalu mulai meneliti dengan statement itu, itu sama saja kau mau meneliti tentang jumlah populasi manusia, tapi dari awal kau sudah membuat kesimpulan manusia hanya orang yang berpendidikan, sehingga orang yang tak berpendidikan tidak akan dihitung sebagai bagian dari populasi, tentu saja kau akan mendapat hasil yang salah”. lanjutku.

“Terus, apa pak buktinya kalau agama itu logis? Bukanya malah orang yang mempertanyakan tuhan dicap kafir? sesat?” balas Joy dengan raut serius.

“Kata siapa? Buktinya Al-Quran sendiri sering menantang kita untuk berfikir. Berbeda dengan Darwin, yang tahu bahwa teori evolusinya gagal karena tidak ada bukti adanya evolusi transisi dari satu makhluk ke makhluk lain, dan sebelum orang lain mempertanyakan hal itu ia sendiri membuat istilah ‘the missing link’ atau rantai yang hilang menjadi bagian dari teorinya agar tidak dibantah. Berbeda dengan Al-Quran, jika memang agama dinilai tidak logis, alih-alih menutup pintu logika, Al-Quran malah menantang manusia untuk menggunakan logikanya. Kalau agama lain melarang untuk bertanya aku tak tau” tuturku.

“Jadi Al-Quran menantang untuk pakai logika pak?” kata Joy dengan mata berbinar, ia sudah tak sabar memaparkan rentetan argumenya tentang kelogisan beragama.

“selama yang kutahu 80% statement dalam Al-Quran tentang sains telah dibuktikan tidak ada yang salah, sedangkan 20% sisanya belum bisa dibuktikan apakah benar atau salah. Dari situ kita bisa tahu kan kalau pendekatan ilmiah bisa dilakukan dalam membuktikan firman Allah.”

“Yakin pak? Ok, Sekarang coba jawab pertanyaanku! (krauss!!!)” Joy melahap potongan terakhir kerupuknya, menaruh piringnya, lalu menepuk-nepuk kedua tanganya.

 

 

Bersambung…

Categories: teologi | Tag: , | Tinggalkan komentar

Navigasi pos

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.