ALIEN

TEBU.jpg

 

“Aku heran, kenapa begitu banyak orang tidak percaya tuhan atas dasar sains, lalu menghabiskan puluhan juta untuk sebuah ekspedisi mencari Alien yang juga belum bisa dibuktikan ada.” kataku sambil menyuguhkan secangkir kopi hangat pada Joy. Nama aslinya Tarjo, tapi ia lebih suka dipanggil joy, penikmat kehidupan tuturnya.

“Tapi tanda-tanda keberadaan Alien bisa dibuktikan pak” katanya masih sambil mengutak-atik radio kami. Joy adalah lulusan sarjana teknik dari salah satu kampus terkenal di ibu kota, sudah dua tahun ini ia memilih untuk kembali ke desa, ingin jadi pengusaha lele katanya. Aku akui joy termasuk orang yang tidak berfikir seperti biasanya, tiga tahun ia bekerja di perusahaan ternama di ibu kota dengan gaji yang besar tak membuatnya terlena untuk tetap tinggal di sana. Ia mampu segera membaca arah bahwa sebesar apapun gajinya, ia tetaplah karyawan yang menukar waktu dan tenaganya untuk mengabdi pada perusahaanya.

Joy segera bertindak dan banting stir ingin berdikari di kampung sendiri. Memang benar, tak sampai setahun ia sudah memiliki sebuah usaha yang memiliki potensi berkembang yang lebih luas lagi, kepandaianya dalam membaca situasi membuatnya cepat menemukan orang-orang tepat untuk mengembangkan usahanya. Bahkan tak sedikit orang yang membaca arah usahanya dengan sukarela menjadi investor atau setidaknya bergabung dengan ide usahanya. Aku salah satunya.

Namun sayang, dari semua kecemerlanganya itu ia membawa satu pemikiran yang ia dapatkan di ibukota tentang konsep ketuhanan. Tak jarang pula ia mengutip beberapa penulis ternama untuk menguatkan argumenya, tapi di saat yang sama aku melihat ia adalah pencari ilmu yang objektif. Ketika semua orang di kampung mentok dengan argumen-argumenya dan mengiyakan saja pendapatnya, Tarjo tak bergeming dengan pendirianya. Meskipun beberapa memandangnya sinting, tapi ia adalah orang yang objektif. Ketika ia tidak mengetahui tentang sesuatu ia akan diam dan membiarkan argumenya dijadikan bulan-bulanan lawan bicaranya. Tak ada upaya untuk membela diri dengan argumen-argumen pembelaan, ia nampaknya paham, hal seperti itu hanya akan membuatnya tampak bodoh. Aku bisa membaca hal itu ketika suatu hari kami mendapat giliran jaga ronda bersama.

Satu kali aku pernah membantah logika rumitnya hanya dengan satu perumpamaan kecil yang membuat dia terdiam. Sejak saat itulah ia tampak antusias mendiskusikan semua pemikiranya denganku, mungkin karna aku terkadang memberikan sudut pandang lain yang tidak ia temukan saat berdiskusi dengan yang lain. Bisa jadi itulah hal lain yang membuat kami sangat dekat, selain karena alasan partner bisnis. Aku sendiri menghargai pemikiranya dan menanggapinya sebisaku dengan sudut pandang lain yang pernah kudapat dari seseorang yang pernah kukenal dulu.

“anehnya kedua hal itu sama-sama bisa kita cari dengan tanda-tanda yang bisa kita pelajari bukan” lanjutku sambil mengambil posisi menyandar di kayu penyangga teras rumahku.

“Lalu” balasnya.

“lalu itulah yang membuatku heran, kenapa mereka percaya pada satu hal yang mereka harap ada melalui tanda-tanda keberadaan dan tidak ingin mempercayai keberadaan lainya yang juga bisa cari dengan tanda-tanda?”

“entahlah, mungkin karena agama itu membosankan? Haha. Orang beragama menyalahkan kejahatan pada sesuatu yang tidak ada alias setan karna terlalu malas untuk bertanggung jawab, dan menyerahkan semua kerja kerasnya pada tuhan karena terlalu malas untuk berusaha” Ia mengulangi kalimat andalannya.

“Itulah yang membuatku curiga, jangan-jangan mereka hanya malas menjalankan misi dan tugas yang sudah diembankan kepada mereka yang dalam konteks agama disebut dengan ‘ibadah’ lalu mencari-cari alasan dan teori untuk bisa membenarkan tindakanya”

“hmmm… dua sudut yang berbeda tentang kemalasan ya”

“Begitulah, tapi menarik juga perkataanmu tentang setan dan tuhan, terkadang itulah yang membuatku ingin bertanya lebih, kau tidak percaya setan tapi berharap menemukan Alien, bagaimana jika Alien itu ciptaan syetan untuk mengaburkan pikiranmu?”

“Atu Alien yang menciptakan konsep setan untuk menutupi keberadaan mereka?” balasnya cepat. Aku berhenti sejanak, wajahnya menyiratkan rona kemenangan yang tertahan, cocok sekali dengan istilah merendah untuk meroket.

“Hmm.. jika Charles Baudelaire mengatakan “ greatest trick the Devil ever pulled was convincing the world he didn’t exist. “ aku melihat mungkin kau salah satunya.” balasku sambil tersenyum. Saling balas argumen dengan sedikit sindiran seperti ini sudah biasa kami lakukan di sela-sela diskusi kami tanpa ada yang merasa terpojok. Tidak seperti apa yang biasa kami lihat di sosial media, sepertinya dengan cara tertentu kami sepakat bahwa perbedaan adalah satu cara untuk memperluas pemikiran, dan kita tidak perlu merasa menang atas satu sama lain, karena sejak awal bukanlah itu tujuan dari perbedaan.

“Bisa jadi… hahaha atau mungkin akulah yang menipu setan dengan berpura-pura percaya kalau setan itu tidak ada, sehingga ia mengira bahwa setan benar-benar ada.”

“Halah..” balasku, sesaat kami saling pandang dan tertawa renyah satu sama lain.

“Tapi aku sendiri lebih nyaman melihat dari sudut pandang lain. Jika kau mengritisi suatu konsep, ada baiknya kau pahami dulu keseluruhan konsep tersebut, karena jika kau berfikir parsial, maka kau hanya akan mendapatkan informasi yang kau inginkan saja, ya meskipun memang, terkadang dalam mencari kebenaran itu kita hanya mencari informasi yang kita inginkan saja bukan.”

“Lalu apa konsep yang kau maksud itu pak?” tanyanya serius ia menaruh obengnya. Joy mulai menuang kopi panas ke dalam cawan kecil yang menyertai gelas kopi tersebut.

“Loh la radionya sudah beres belum?”

“Ngudut dulu lah pak!”

 

 

——————————————–
Bersambung minggu depan
——————————————–
Categories: teologi | Tag: , , | Tinggalkan komentar

Navigasi pos

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.